DIGITAL LIFE: DO OR DIE?

Tak pelak teknologi digital semakin merangsek dalam kehidupan masyarakat. Perubahan sudah terjadi, ikut atau tertinggal adalah pilihan.

Saat ini kehidupan manusia telah memasuki pada masa digital. Dimana koneksi internet sudah mengambil tempat dalam kebutuhan primer. Well, jika Anda tidak percaya silahkan perbandingkan keadaan saat ini dengan kondisi di tahun 1990-an. Dalam berkomunikasi, misalnya, kala itu untuk berkomunikasi masih menggunakan perangkat yang sederhana. Ingatkah Anda bagaimana menggenggam telepon seluler yang tebalnya seperti kamus bahasa? Atau bagaimana menelpon operator pager untuk menyampaikan pesan? Atau ingatkah Anda ketika mengirimkan uang menggunakan layanan Wesel Pos?

Sekarang, perhatikan semua itu sudah berlalu, berganti dengan berbagai kemudahan. Fasilitas komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dengan biaya yang jauh lebih murah tentunya. Aplikasi Line, Blackberry Messenger, WhatsApp, Skype hingga Kakao Talk menjadi alternatif dalam sarana berkomunikasi.

Selain itu, social media bak cendawan di musim hujan. Beragam pilihan ditawarkan mulai dari photo sharing hingga update status dengan hanya menggunakan 140 karakter. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, Keek, Pinterest, Path hingga Wookmark yang hadir menjadi pilihan. Padahal sepuluh tahun yang lalu, dunia social media dimonopoli oleh Friendster. Saat ini sangatlah mudah mengirimkan pesan atau kabar pada teman hanya dengan satu tombol dari ponsel Anda.

Nirkabel
Hal ini bermula sejak layanan nirkabel atau internet ditemukan di 1950-an dalam sebuah pengembangan komputer. Penelitian ini merupakan awal mula pemikiran mengenai bagaimana sebuah pesan dapat terkirim dari sebuah komputer ke komputer lain menggunakan jaringan ARPANet. Namun, baru pada tahun 1980-an standarisasi tentang Internet Protocol Suite (TCP/IP) baru diperkenalkan. Tahun 1995, internet berkembang menjadi salah satu layanan komersil.

Seperti virus kemudian berpengaruh terhadap industri-industri yang berkaitan dengan teknologi digital. Mulai dari industri telekomunikasi, industri musik hingga Industri media. Di industri telekomunikasi saja misalnya, saat ini hampir semua perusahaan penyedia jasa telekomunikasi melakukan 'perang' dengan menawarkan paket-paket murah untuk layanan internetnya.

Sementara di Industri musik, era digital membawa dampak positif dan negatif. Positifnya teknologi digital mempermudah musisi dalam memproduksi karya. Sayang negatifnya adalah maraknya pembajakan yang terjadi melalui internet, yakni karya-karya yang dapat di download secara bebas. Begitu juga di dunia kreatif lain yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta. Sehingga kemudian dibuatlah Undang Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Digital Milenium Copyright Act yang dianut oleh Google berdasarkan undang-undang hak cipta Amerika Serikat. Tentunya dengan tujuan membatasi jumlah pembajakan yang terjadi.

Platform
Lalu, bagaimana dengan ranah media sendiri? Gebrakan paling mengejutkan adalah ketika media internasional seperti Newsweek mengumumkan bahwa per 2013 mereka tidak akan hadir dalam bentuk cetak. Sebagai gantinya hadir dalam platform digital seratus persen. Meski sebelumnya telah banyak media lain yang memutuskan untuk mengubah platform ke digital media, namun Newsweek yang menjadi perbincangan serius terhadap masa depan industri media.

Dalam editor's note milik Burhanddin Abe, Editor In Chief MALE Digital Magazine, yang berjudul 'Tsunami Digital', disebutkan bahwa pasar media cetak saat ini semakin mengecil. Sementara hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah pembelian perangkat digital khususnya PC tablet.

Di kuartal terakhir 2012, produk-produk yang masuk dalam kategori PC tablet mengalami kenaikan angka penjualan hingga 75% dari periode sebelumnya. Pilihan yang ada saat ini adalah mengubah platform ke digital atau menutup usaha. Sedangkan New York Times dan Washington Post yang mencoba bertahan sebagai media cetak, saat ini tengah dalam posisi yang sulit. Kabarnya oplah yang diperoleh oleh media cetak terlaris di Indonesia saja sudah tinggal 20% dari saat media tersebut dalam puncak kejayaan.

Perbedaan signifikan juga terjadi dalam hal pendistribusiannya. Jika media cetak setelah terbit akan dikirimkan oleh bagian sirkulasi kepada agen dan penjual eceran. Maka media digital didistribusikan melalui aplikasi di IOS atau Android. Namun hal tersebut masih terbagi lagi menjadi media berbayar atau gratis.

Agen-agen dan penjual eceran akan di media digital bertransfromasi menjadi news stand dalam format digital. Sebut saja Newsstand, Zinio, Kindle, Barnes & Noble serta Wayang. Bahkan, saat ini operating system seperti Windows 8 telah menyediakan fitur untuk pencarian majalah digital yang telah terklasifikasikan sesuai dengan jenis medianya.

Akhirnya semua kembali lagi pada teknologi internet yang akhirnya berubah menjadi kebutuhan primer. Akses untuk memperoleh segala macam informasi dapat dilakukan dengan mudah. Alhasil keinginan untuk mengakses informasi yang lebih cepat merubah behaviour masyarakat. Jika dulunya untuk memperoleh informasi ada sebuah usaha untuk membeli koran atau majalah, sekarang semua berubah hanya dengan one click away.

Faktor ini sendiri diperkuat dengan fakta yang digelontorkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Data menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada 2012 mencapai 63 juta orang atau mencapai 24,23 persen dari total populasi negara ini. Tahun ini diprediksi naik dan terus tumbuh. Menurut perkiraan jumlah pengguna internet akan mencapai 50% dari total populasi Indonesia di 2015.

Meski kenyataannya demikian, di Indonesia sendiri trend media digital ini belum terlalu dikenal dengan baik. Perubahan platform ini merupakan tren global. Secara tidak langsung tren tersebut segera menerpa lingkup nasional. Oleh karena itu, MALE Digital Interactive Magazine hadir untuk menjadi bagian dari masa depan media digital di Indonesia.

-WITPRASETYO-

(MALE DIGITAL MAGAZINE, 028)

No comments:

Post a Comment