ARRIVEDERCI!



"Things do not happen. Things are made to happen."
- John F. Kennedy


Takdir. Ada beberapa orang yang percaya tentang hal tersebut. Tapi ada juga yang tidak memercayainya. Saya pribadi entah masuk ke kategori yang mana. Tapi, saya percaya semua yang terjadi dalam hidup ini bukan hanya kebetulan semata.

Begitu pun yang terjadi baru-baru ini di kehidupan saya. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, saya dipertemukan dengan orang-orang baru, dalam lingkup redaksi majalah digital interaktif. Orang-orang yang akhirnya menjadi keluarga baru. Orang-orang yang hebat dan bisa membuat sebuah terobosan besar.

Selama bersama, ada masa kami dibanggakan dan dikucilkan. Bahkan dipandang sebelah mata pun sudah menjadi hal yang biasa. Namun, kami selalu berusaha membuktikan lewat karya, bahwa apa yang mereka pikirkan tidak benar.

Kerja keras kami pun membuahkan hasil. Prestasi pertama yang kami raih bisa dilihat melalui jumlah downloader yang melebihi ekspektasi. Saya sendiri, akhirnya mampu memiliki beberapa pencapaian yang tidak biasa. Diantaranya ketika sebuah media bisnis 'menjawab' tulisan saya dengan headline-nya, tulisan saya dikutip oleh media besar nasional hingga internasional, bahkan berbicara di depan jajaran redaksi media bisnis terkemuka. Yang terbaru, artikel yang saya buat berhasil membantu seorang teman mendapatkan lebih banyak rezeki.

Dalam perjalanan selama tiga tahun bersama mereka, apa yang disebut dengan pekerjaan tidak lagi terasa sebagai beban. Semua mengalir begitu saja layaknya sebuah stimulasi untuk pembentukan karya. Iya, kami tidak bekerja di sana, kami bermain dan berkarya.

Bersama mereka, saya bisa belajar banyak hal. Karena mereka, saya pernah rindu untuk pergi ke kantor kala liburan. Dan berada di organisasi yang sama dengan mereka, menonton The Secret Life of Walter Mitty menjadi begitu menyedihkan. Apalagi di bagian hampir seluruh pekerja dipecat karena adanya perubahan platform dari majalah cetak menjadi digital/web-based.

Tapi kini setelah perayaan ulang tahun ketiga, kami justru harus dipisahkan. Dibubarkan. Kami sudah harus memulai jalan kami sendiri-sendiri seperti sebelumnya. Sebelum kami bertemu untuk pertama kali di tiga tahun lalu.

Bagaimanapun perpisahan ini harus dihadapi. Kami dituntut untuk sudah bisa berkarya sendiri-sendiri. Tempaan yang diterima selama 3 tahun menjadi pelajaran untuk menghadapi dunia yang lebih kejam.

Terima kasih semuanya. Terima kasih atas pertemuan yang terjadi. Kini kita harus berpisah dan akan bertemu lagi di masa depan. Kita pernah membuat organisasi yang dipertimbangkan banyak pihak. Dan kita akan bertemu lagi setelah menjadi sosok yang diperhitungkan.

Apakah semua ini takdir atau bukan, saya tidak tahu. Satu hal yang pasti, pertemuan yang terjadi bukanlah sebuah kebetulan, melainkan pelajaran dalam hidup yang harus dilewati.

Arrivederci MALE!

Pergi Tanpa Pesan



"Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu."
- Sujiwo Tejo

Saya masih ingat betul bagaimana ketika masih kecil orang tua sering berpesan, "Kalau pergi itu mbokya pamit,". Kata-kata tersebut keluar dengan alasan sederhana, supaya mereka tidak perlu khawatir. Tapi, seiring dengan bertambahnya umur, permintaan tersebut menjadi susah untuk dikabulkan. Pun bagi saya.

Memberikan pesan sebelum pergi menjadi semakin menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan kedekatan antara pria dan wanita. Terutama ketika sebuah komitmen belum terbentuk. Tak heran ungkapan "Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya," menjadi begitu familiar.

Di tahun ini, saya juga baru tahu ada istilah yang bisa mendefinisikan hal tersebut. Ghosting, begitu katanya. Julukan ini bisa diberikan pada seseorang yang pergi tanpa pamit dan kadang kembali lagi tanpa pemberitahuan. Ya, seperti hantu.

Saya sendiri pernah membaca artikel tentang ghosting ini. Dimana dalam bacaan tersebut, hal demikian masuk dalam kategori bad manner. Well, jika dilogikakan memang masuk akal. Pribadi yang melakukan ghosting bisa dibilang tidak sopan.

Menariknya, seorang teman pernah melakukan survei kecil-kecilan. Ia menanyakan tentang perilaku ini pada sekumpulan rekan kerja yang mayoritas wanita. Jawaban terbanyak diperoleh dengan menyetujui tindakan ini. "Iya lah, mendingan ghosting, if we're not into him, ya udah, pergi aja," ujar mereka.

Mungkin pernyataan yang diberikan ada benarnya. Tapi dalam hubungan pertemanan saja, ghosting sering menjadi keluhan. "Si A tuh nemuin gue kalo pas ada butuhnya aja," ucap seseorang dengan kesal. Bayangkan, di pertemanan saja hal ini menjadi sangat menyebalkan. Bagaimana jika dalam sebuah kedekatan yang meliputi ikatan emosional? Menyakitkan. Iya, kurang lebih itu yang kerap saya dengar.

Saya sendiri bisa dibilang sering menjadi pelaku dari ghosting. Namun, suatu ketika seorang teman baik bercerita mendapatkan perlakuan demikian dari seorang pria yang digandrunginya. Raut kebahagiaan hilang dari wajahnya, meski saat itu ia berusaha untuk selalu tersenyum. Dan pertemuan itu pun menyadarkan saya untuk tidak melakukannya lagi.

Mungkin jawaban, "Lho, memangnya kita dekat?" Atau kalimat lain yang memojokkan kita akan disampaikan, ketika kita memberitahu akan pergi dari kedekatan dengan seseorang. Tapi, pergi tanpa pesan memang tidak selalu menyenangkan untuk orang yang ditinggalkan. Hal ini pun berlaku dalam semua bentuk hubungan manusia. Jadi, benar apa yang dikatakan para orang tua. "Kalau pergi itu mbokya pamit."

Tentang Rasa




"I have no philosophy, i have senses." 
- Fernando Pessoa

Rasa atau sense, merupakan hal yang paling pribadi menurut saya. Karena meski akan memiliki persamaan tapi secara mendetail, rasa tentunya berbeda bagi setiap orang. Rasa lelah misalnya. Untuk beberapa orang, rasa lelah hadir akibat pekerjaan yang tak kunjung selesai. Ada juga yang merasa lelah karena berusaha meyakinkan seseorang yang dicintainya bahwa ia telah berubah, namun tetap tidak dipercaya.

Begitu juga dengan jatuh cinta. Tolok ukur untuk rasa yang satu ini berbeda pada setiap orang. Indikatornya bisa dilihat dari sejauh mana perasaan cinta itu hadir dalam kehidupan seseorang.

Ada yang dengan mudahnya merasakan jatuh cinta. Sehingga kerap terlihat tidak meyakinkan, karena orang yang merasakan rasa tersebut begitu mudah untuk menyatakannya. Namun, ada pula yang kerap tidak sadar dengan hadirnya rasa tersebut. Kembali, semua itu menjadi berbeda dan tidak akan pernah sama.

Apalagi jika kemudian mengaitkannya dengan variabel pengalaman. Sudah pasti akan jauh semakin berbeda di antara manusia satu dengan yang lainnya.

Belum lama ini, saya sempat bertukar cerita dengan seorang teman baik. Saya bercerita dengan penuh antusias tentang wanita yang tengah menghiasi pikiran. Cerita itu meliputi kebahagiaan hingga kekecewaan yang timbul sepanjang melakukan proses pendekatan. Menariknya, di ujung cerita teman tersebut berkata, "Gawat, Mas Wit. Kamu jatuh cinta,".

Saya pun tertegun. Bahkan terdiam untuk beberapa saat. Pertanyaan "Masa iya?" muncul di benak saya. Hal ini karena beberapa tahun terakhir saya tengah memercayai tidak ada yang dinamakan dengan cinta. Apalagi, dalam sebuah hubungan menurut saya hal yang ada dan diperlukan adalah kompromi dan toleransi.

Jika kembali pada pernyataan sebelumnya, apa yang terjadi dengan saya terhitung menarik. Bagaimana bisa orang lain yang menentukan bahwa perasaan jatuh cinta tersebut telah hinggap. Dan, iya, bukankah rasa itu harusnya dirasakan oleh pribadi yang merasakannya?

Satu hal yang akhirnya saya coba sadari dari pengalaman ini. Terkadang, mungkin kita terlalu asyik dengan euforia dari kedekatan seseorang tanpa bisa menjelaskannya. Sehingga melupakan apa yang sesungguhnya dirasakan. Bahkan kadang rasa yang hadir menjadi asing untuk dikenali.

Well, bagaimanapun saya tidak bisa menyanggah apa yang dikatakan oleh teman baik tersebut. Mungkin sebagai makhluk sosial, kita selalu butuh orang lain sebagai pengingat supaya tetap terjaga. Apalagi tentang rasa.

Andi

"Ras, lo mo lembur lagi malam ini?"
Pertanyaan tersebut memecah konsentrasiku.
"Hm, bisa jadi, Sin. Belum selesai nih soalnya," ucapku sigap.
"Udah, tutup laptopnya. Kerjaan itu kan masih minggu depan deadline-nya. Ikut gue aja yuk? Gue mau ketemu teman-teman lama nih, anaknya konyol semua. Biar lo gak stress," ujar Sinta meyakinkan.
"Duh, enggak, deh. Gue beresin ini dulu biar tenang," kataku.
Tak lama, Sinta pun menghampiri dan menutup laptopku.
"Udah, pokoknya lo ikut gue!" Ucapnya tegas.
Dengan enggan aku pun membereskan meja kerja dan bersiap untuk mengikuti Sinta yang sudah menunggu di pintu keluar. Sepanjang jalan aku pun merengek dan mengajukan alasan agar aku diijinkan pulang ke rumah saja.

"Gue kan gak kenal teman-teman lo yang ini, Sin. Gak enak, ah,"
"Udah, ikut aja! Tenang aja, lo nanti bakal bilang terima kasih sama gue,"
ujarnya penuh keyakinan.

Kami pun sampai di tempat yang dituju. Di sudut ruangan tampak wajah-wajah yang telah menunggu Sinta. Aku pun dengan sembarang mengambil posisi duduk yang agak di pinggir. Well, paling enggak kalau obrolannya gak nyambung bisa sibuk sama gadget. Dan kalau di pinggir kan gak jadi pusat perhatian.
Ternyata perkiraanku salah. Aku duduk berhadapan dengan seorang pria yang tampak begitu lelah dan tidak bersemangat. Tapi, dia begitu ramah untuk mencoba berbincang menghilangkan kecanggungan yang aku rasakan.

"Hai, temannya Sinta, ya? Gue Andi," begitu kalimat pembukanya. Mau tidak mau aku pun mencoba menanggapi usahanya untuk mencairkan suasana. Menariknya lagi obrolan yang terjadi ternyata begitu menyenangkan.
Walaupun perlu diakui, Andi ini bisa jadi adalah tipe pria yang tidak akan aku gubris ketika bertemu di tempat lain.

Tapi, i'm having a good time that night. Makanya ketika Andi meminta nomor telepon pun aku memberikannya tanpa sungkan. Ya, setidaknya Sinta benar aku bisa rehat sejenak malam itu dari kepenatan. What a night.

Berlalu




"Kita tidak bisa bersama lagi," ujarnya. Belum ada lima menit ia datang dan menutup pintu kamar, namun kata-kata itu yang pertama kali keluar. "Sori, gimana?" Tanyaku. Ia pun kemudian berjalan menghampiriku dan duduk tepat dihadapanku. "Ibu memintaku untuk menyudahi hubungan kita, ia memintaku untuk menikah. Sementara kamu tahu kan, kita tidak bisa kemana-mana?" Ucapnya.

Akupun beranjak dari hadapannya dan duduk di meja kerjaku. "Serius? Aku harus ngomong sama ibu?" Tanyaku lagi.

"Jangan, ia justru memintaku untuk tidak memberitahu alasannya. Tapi aku gak bisa bohong sama kamu. Aku pun tidak tahu harus bagaimana," katanya. "Gila ya? Harusnya malam ini kita tuh senang-senang. Dan kamu tahu apa alasannya. Tapi ternyata malah begini. The worst anniversary night ever!"

Tanpa melihatnya lagi aku pun melangkah keluar kamar. Aku harus menenangkan diri. Sungguh tak kusangka saat seperti ini akan datang juga.
Hari itu adalah momen paling buruk dalam hidupku. Padahal sedari siang aku sudah berniat untuk mengajaknya makan malam merayakan hari jadi kami yang ketiga. Tapi sorenya, ia justru memintaku untuk bertemu di kost, dengan alasan ada hal penting yang perlu dibicarakan. Tak disangka hubungan kami pun harus berakhir.

"Woy, Ndi, kontrak sama riders sudah selesai belum? Ditungguin tuh sama EO-nya," ucap rekan kerja menyadarkanku dari lamunan. "Udah, tinggal kirim, nih," kataku sekenanya. Telah sebulan lamanya hari itu berlalu, namun kekesalan akan apa yang terjadi masih saja datang. Aku dan dia pun sudah tidak berkomunikasi sejak kejadian itu. "Mungkin memang belum jodoh," ujarku dalam hati sembari melanjutkan pekerjaan.

Laras


"Ini dia.." ucapku dalam hati. Seolah langit memberikan petunjuk melalui apapun yang keluar dari mulut wanita dihadapanku. Ia tidak tahu tentunya cerita yang aku bawa sebelum berkenalan dengannya.

Saat ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman lamaku. Salah seorang teman wanita mengajak rekan kantornya untuk bergabung bersama kami malam itu. Dan aku tidak bisa melepaskan pandangan darinya.

Sudah sekian lama aku memang tidak banyak menaruh perhatian pada lawan jenis. Kisah terakhir yang tertulis membuatku memutuskan untuk rehat sejenak dari hubungan asmara. Berbagai benturan yang menghujamkan tali kasih membuatku berpikir, "mungkin memang belum saatnya untuk serius." Kisah klasik restu yang tak diberikan, perbedaan agama, hingga tuduhan selingkuh yang konyol, membuatku enggan memulai lagi.

Tapi, wanita yang akhirnya ku tahu bernama Laras tersebut, entah mengapa sangat mencuri perhatian. Tidak, dia tidak seperti model catwalk atau selebriti wanita yang berparas menawan. Dia menarik. Aku cuma tahu itu.

Entah mengapa, Laras pun duduk dihadapanku. Untuk mengurai suasana agar lebih menyenangkan, akupun mengajaknya bicara. Ngalor-ngidul. Lucunya, kami berhenti bertukar cerita saat teman-teman mulai memandang dengan heran. Sejenak ekspresi kikuk pun tergambar jelas pada kami berdua.

Dengan santai akupun segera menyodorkan ponsel untuk meminta nomor teleponnya. Ia pun menyambutnya dengan ramah disertai senyum yang tak terlupakan. Oh, aku melakukan hal tersebut secara diam-diam, agar pandangan forum tidak lagi tertuju pada kami. He-he-he..

Tanpa terasa waktu pun beranjak menuju tengah malam. Aku dan teman-teman memutuskan untuk menyudahi temu kangen malam itu. Dalam perjalanan menuju parkiran kendaraan, seorang teman pun bertanya mengapa aku begitu sumringah. Aku pun mengelak dengan memberikan jawaban yang seperlunya.

Sepanjang perjalanan pulang, Laras selalu menjadi topik utama di pikiranku. Namun sejurus kemudian, rekam cerita di masa lalu pun menyeruak. Aku pun mulai pesimis untuk melakukan langkah perkenalan lebih lanjut. Tapi senyum yang terukir sudah tidak bisa disembunyikan.


Resiko


"Lho, Mbak Laras? Sudah lama gak pernah ke sini lagi?" 
"He-he-he.. Iya, Mang, maklum kerjaan lagi banyak. Andi sudah pulang, Mang?" Ucapku mengalihkan obrolan.
"Belum, biasalah. Paling juga jam sepuluhan nanti," 
"Oh, ya, sudah. Saya ke kamar dulu, Mang," ucapku sambil berlalu secepat mungkin.

Aku sadar ini akan jadi kesalahan terbesar. Tapi bagaimana lagi, kerjaan yang satu ini butuh konsentrasi yang luar biasa. Lagipula memang cuma dia yang bisa memberiku inspirasi.

Pelan-pelan kucoba membuka kunci gembok kamarnya. Ternyata ia belum menggantinya. Bau ruangan ini masih sama seperti dulu. Masih seperti ketika aku mengucapkan selamat tinggal padanya. 

Kunyalakan lampu kamar, kemudian terlihat pemandangan bak kapal pecah terhampar di depan mata. "Oh, aman kalau begini," pikirku. Lelaki yang satu ini tidak akan membiarkan kamarnya berantakan apabila ia sedang dekat dengan seseorang. Setidaknya, kedatanganku malam ini tidak akan menyulut perkara bagi siapapun, kalaupun dia marah aku akan terima saja.