Musik dan Nasionalisme


ini hanyalah sedikit pemikiran mengenai apa yang terjadi di dunia musik. Mengenai benar atau salah saya tidak mencarinya, karena saya memang bukan ahlinya. Begitu juga untuk sebuah argumen pembelaan atau koreksi, saya tidak menulis catatan ini untuk itu.

Pemikiran ini muncul ketika saya mengikuti liputan band bernama Hijau Daun. Di mana band ini merupakan produk Sony Musik Indonesia. Dan hal ini muncul waktu saya sedang satu meja bersama pak Jan Juhana saat sarapan, dan beliau sedang diinterview oleh seorang wartawan.

Ketika kita berbicara mengenai apa yang menjadi trend di musik Indonesia saat ini, memang sedikit menyedihkan, karena semakin banyak band yang mengambil jalan pintas untuk dikenal. Terlebih dengan aliran pop melayu yang sedang mewabah.

Ada kutipan yang bisa saya ambil dari perbincangan dengan pak Jan, beliau mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri di industri musik. Iya memang, dan hal ini bukan suatu hal yang salah. Terbukti dari bertambahnya porsi pemutaran musik lokal di radio. Bahkan di luar Indonesia, Malaysia contohnya, di radio mereka lagu - lagu Indonesia menguasai playlist-nya. Sampai-sampai sekarang porsinya harus dibatasi. Kita harusnya bangga dengan hal itu bukan???

Sekarang mengenai pop melayu yang sedang marak. Menurut saya pop melayu ini dibenci karena kemunculan kangen band. Setuju atau tidak hal tersebut berimbas ke beberapa penerusnya. Karena jika kita berbicara kualitas musikalitas, band seperti ST-12 sebenarnya memiliki hal tersebut. Begitu juga yang terjadi dengan Ungu saat meluncurkan album religi. Pergerakan musik mereka menuju pop melayu. Apakah kita harus mempertanyakan kualitas Ungu???

Selain kualitas ada juga perjuangan. Nah, buat saya hal ini cukup menarik untuk mengetahui bahwa Hijau Daun, yang notabene merupakan salah satu punggawa pop melayu, berprogress dan berusaha sendiri, untuk mengenalkan musik mereka disaat label tidak bertindak sigap. Pergerakan mereka ini melebihi semangat bermusik banyak band yang mengusung musik yang (katanya) berkualitas. Musik mendayu-dayu tidak membuat mental melemah. Berbanding terbalik dengan band-band yang manja dengan label ataupun manajemennya. Mungkin kemanjaan itu timbul karena mereka merasa berkualitas???

Pak Jan mengungkapkan bahwa bukankah Indonesia masih merupakan rumpun melayu??? Ini menarik otak saya lagi untuk berpikir. Itu sangat benar. Beberapa daerah di Indonesia memiliki jenis musik tradisional melayu, yang kadang dicampur dengan nuansa pop. Namun kenapa semua jadi salah ketika muncul kepermukaan. Sama halnya dengan dangdut, banyak yang membencinya terutama mereka yang merasa berkualitas. Begitu juga dengan campur sari, apakah salah nantinya ketika campur sari menjadi musik yang populer???

Kemudian kita sedikit flash back mengenai siklus musik populer beberapa tahun terakhir. Dimulai saat boomingnya Sheila on 7, lalu berganti dengan Peterpan juga Ungu. Mungkin disini musik pop memang masih pada pakemnya, belum ternodai unsur melayu. Kemudian pop ala 80 an pun berjaya di kalangan anak muda dan kemudian sekarang pop melayu. Bukankah siklus itu memang berjalan terus??? Dan bukankah dulu pun Indonesia terkena hantaman pop melayu??? Yang lebih parah dulu kita malah terkena agresi Malaysia. Jadi bukankah sekarang terhitung musik Indonesia lebih maju???

Kondisi musik saat ini sangat lucu jika dikaitkan dengan Nasionalisme. Sama halnya dengan barang konsumsi. Manusia Indonesia lebih bangga jika menggunakan produk import. Padahal musik tradisional di luar negeri, Amerika contohnya selalu berusaha diangkat ke permukaan. Sebut saja musik country, coba saja artikan kata country ke dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga yang dilakukan oleh Eddie Vedder. Pentolan Pearl Jam ini mengangkat musik indian untuk penggarapan soundtrack film Into The Wild. Kenapa juga kita tidak mencintai musik tradisional Indonesia??? Seperti yang saya bilang tadi, manusia Indonesia cuma bangga jika memakai produk import.

Menurut saya, sangat menyedihkan ketika orang luar memakai musik tradisional Indonesia untuk menciptakan lagu yang menjadi hits. Seperti soundtrack film Fast and furious : Tokyo drift. Sangat menyedihkan, karena disana ada suara gamelan!!!!!

Pikiran saya adalah: Kenapa kita, baik pihak label maupun musisi, tidak mencintai musik Indonesia terlebih dahulu, baru mengurusi masalah berbisnis dan masalah berkualitas. Buat saya berkualitas tanpa melestarikan musik Indonesia sama dengan nol. Karena kiblat yang dipilih pasti antara Eropa dan Amerika. Dan untuk pop melayu, tidak semua band seperti kangen band. Tapi opini dan keputusan amat tergantung pada pribadi masing-masing. Saya sih cuma berkeinginan agar Indonesia jadi kiblat Eropa dan Amerika. Tapi mungkin menurut anda itu mustahil kan???

1 comment:

  1. sebagai warga negara yang baik, kita harus mencintai musik indonesia.

    ReplyDelete