Vampir #2

“Maaf, bisa anda beritahu saya di mana tempat ini berada?”

“Oh, jalan saja terus ke depan, kemudian di persimpangan jalan anda bisa ambil jalan ke kiri”

Begitulah percakapan pertamaku di Belanda. Aku menanyakan letak rumah kediaman keluarga besar Vanhoorse. Tempat itu tentu saja menjadi tujuan utamaku sejak aku sampai di Belanda, karena aku pikir akan lebih mudah menemukan alamat yang menjadi tujuan surat, jika aku telah bertemu Claudia.

Aku pun berjalan menelusuri jalan setapak yang menuju alamat kediaman Vanhoorse. Aku berhenti, aku tertegun melihat bangunan besar di depanku, warna temboknya sudah kusam, penuh dengan benalu yang menjadi ornamen.

“Ini sih istana namanya, bukan rumah.” Gumamku

Aku pun memasuki gerbang rumah tersebut perlahan, perasaan ragu dan penasaran berkolaborasi untuk membuatku mempercepat langkah. Rumah tersebut mati. Ya, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Mungkin karena jaraknya yang agak jauh dari kota membuat orang tidak memperhatikan apa yang terjadi dengan rumah ini.
Aku mengetuk pintu. Mencoba menyampaikan salam layaknya orang bertamu. Tapi tidak ada jawaban.

Kuberanikan diri untuk mendorong pintu utama rumah tersebut. Sekedar informasi, Pintu utama rumah kediaman Vanhoorse ini cukup untuk memasukan seekor gajah.

Di dalam ruangan tercium bau lembab dan pengap. Seperti rumah yang bertahun-tahun sudah ditinggalkan pemiliknya. Aku pun mencoba memanggil Claudia. Namun yang ada hanya gema namanya memenuhi ruangan. Di lantai dua terlihat sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Aku pun beranjak untuk menghampiri ruangan itu. Sekejap kemudian aku pun lemas. Iya, vampir juga bisa lemas kok, tenang aja, jangan protes dulu ceritanya masih panjang, kamu pikir gampang mengingat kembali kejadian beberapa ratus tahun lalu?

Mungkin jika aku masih menjadi manusia, aku sudah pingsan melihat apa yang ada di depanku. Terdapat dua mayat terbujur kaku, dengan masing-masing mayat kehilangan kepalanya. Yang wanita perutnya sudah terurai dengan bekas tusukan yang sangat acak, yang pria memiliki luka tusuk di sekujur tubuhnya. Dan keduanya memiliki sebatang kayu yang tertancap di bagian jantung.

Aku dihajar oleh jutaan tanya yang hinggap di kepala. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Aku pun memberanikan diri untuk masuk ke ruangan tersebut. Di ujung ruangan terdapat sebuah tempat tidur yang berlumur darah. Aku mendekati ranjang tersebut. Claudia sudah mati dengan kepala terpisah.

Kalian akhirnya bisa paham kenapa waktu bukan merupakan teman bermain yang menyenangkan? Karena dia dapat memberikan kejutan yang tidak akan pernah kalian duga. Kejutan tersebut bisa jadi merupakan hal paling baik, tapi bisa juga hal paling buruk yang pernah kalian bayangkan sebelumnya.

Dalam kondisi seperti itu, aku seperti kehilangan arah, aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku dan Claudia harusnya bisa hidup untuk selamanya, tapi? Aku menangis sejadi-jadinya. Aku membereskan semua mayat-mayat itu, aku membakar mereka dihalaman belakang. Kedua orang yang tergeletak di lantai, aku simpulkan sebagai pembantu dan tukang kebun yang mencoba melindungi Claudia dari percobaan pembunuhan.

Aku pun penasaran dengan isi surat yang Meneer berikan padaku. Ternyata dari sekian amplop, hanya satu yang berisi pesan.

“Kamu tolong urus mayat Claudia, bersihkan rumah dan segera kembali ke sini. Jangan meminum darah apapun selama kamu di sana. Cepatlah pergi dari sana begitu tugas mu selesai”

Entah apa yang terjadi, aku tidak mengetahui ada permasalahan apa dengan vampir-vampir di sini. Satu hal yang cukup membuatku terkejut, ternyata Meneer pun seorang Vampir.

Aku tak perlu bercerita secara detail tentang apa yang selanjutnya terjadi. Satu hal yang pasti, ketika aku kembali ke Indonesia Meneer pun menghilang tanpa jejak. Dan aku harus menyembunyikan identitasku sebagai Vampir agar selamat.

Kalau kalian punya pemikiran untuk hidup abadi, hentikanlah sekarang juga. Bertahun-tahun setelah kematian Claudia aku kehilangan arah. Untuk apa aku hidup selama ini tanpa seorangpun yang bisa menemani? Okay, aku tau pertanyaan itu akan muncul, tapi harusnya kalian tahu banyak alasan mengapa hal tersebut tidak aku lakukan. Ya, memang aku bisa saja dengan mudah untuk mencari orang lain untuk menemaniku, aku merubahnya menjadi Vampir. Tapi, entah kenapa, aku tidak bisa. Terserah kalian mau bilang Vampir kok pakai perasaan.

Pertemuanku dengan hujan? Kalian seperti orang yang dikejar waktu, harusnya aku bercerita lebih banyak lagi supaya ceritaku ini penuh dengan drama. Tapi, ya, sudahlah aku akan bercerita.

Aku bertemu dia sejak lima tahun yang lalu. Aku tidak berharap kamu mengerti tentang ceritaku ini, tapi inilah yang terjadi. Dari tahun ke tahun aku selalu meratapi kematian Claudia, dan hujan selalu menemaniku dalam setiap langkahku. Ia selalu menghapus sedihku dengan curah airnya, seolah ingin membersihkan semua kenangan yang seharusnya bisa dilupakan.

“Kamu bisa dengar suaraku?”

Aku berandai-andai saja jika memang ia bisa mendengarku dan menjawab. Dan pertanyaanku terjawab lima tahun yang lalu.

“Iya, aku selalu mendengarmu” Begitu katanya,

Ratusan tahun aku bertanya dan baru lima tahun yang lalu ia menjawabnya, seandainya kalian yang mengalami ini, pasti mati nampak jauh lebih nikmat bukan?

Kami pun bertemu, dia menarik, sungguh aku jatuh hati padanya. Dia tidak cantik seperti Claudia, tapi aku suka. Dia tidak anggun, dia bahkan berantakan, tapi aku suka. Aku mengaguminya sejak pertama aku lihat sosoknya.
Pertemuan pertama itu berlangsung dengan menyenangkan. Sebenarnya aku malu terhadapnya, karena dia selalu melihatku menangis, dan rupaku saat menangis amatlah tidak enak dilihat. Tapi, dia membuat situasinya begitu nyaman, kami tertawa hingga waktu pun terlupa.

Dia sangat adiktif, dia sangat menyebalkan, dan dia.. Dia bisa membuatku lupa dari Claudia. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, bahkan sebagai seorang pria aku tahu bahwa apa yang akan aku lakukan merupakan faktor kegagalan awal untuk mendapatkan seseorang, tapi aku tak peduli dan aku menanyakan ini kepadanya..
“Maukah kamu bersamaku?”

No comments:

Post a Comment